Selasa, 22 Mei 2012

PEMBIAYAAN MUDHARABAH 

Sistem bagi hasil (profit and loss sharing) merupakan karakteristik utama. Perbankan Syariah secara umum. Dalam akad yang ditanda tangani nasabah dan bank akan ditentukan nisbah bagi hasil yang akan di peroleh masing masing pihak dari pendapatan/keuntungan usaha yang di jalankan. Nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk persentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal rupiah tertentu, karena tidak akan pernah tahu keuntungan pasti dari hasil usaha yang dilakukan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya bagi hasil di perbankan syariah adalah :
a. referensi tingkat (margin) keuntungan
b. perkiraan tingkat keuntungan bisnis/proyek yang di biayai.

Implementasi pembiayaan mudharabah pada perbankan syari'ah :
Mudharabah di dunia bank syariah merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank Islam secara keseluruhan. Aplikasi mudharabah pada bank syariah cukup kompleks, namun secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua:
1. Akad mudharabah antara nasabah penabung dengan bank
2. Akad mudharabah antara bank dengan nasabah peminjam

Berikut ini uraian sekaligus tinjauan syar’i terhadap aplikasi tersebut:
1. Akad mudharabah antara nasabah penabung dengan bank.
Aplikasinya dalam perbankan syariah adalah:

a. tabungan berjangka yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus seperti tabungan qurban, tabungan pendidikan anak, dan sebagainya.
Sistem atau teknisnya adalah nasabah penabung memiliki ketentuan-ketentuan umum yang ada pada bank seperti syarat-syarat pembukaan, penutupan rekening, mengisi formulir, menyertakan fotokopi KTP, specimen tanda tangan, dan lain sebagainya.
Lalu menyebutkan tujuan dia menabung, misal untuk pendidikan anaknya, lalu disepakati nominal yang disetor setiap bulannya dan tempo pencairan dana.
Pada praktiknya, dana akan cair pada saat jatuh tempo plus bagi hasil dari usaha mudharabah. Secara kenyataan di lapangan, pihak bank bisa langsung memberikan hasil mudharabah secara kredit tiap akhir bulan.

b. Deposito biasa
Ketentuan teknisnya sama seperti ketentuan umum yang berlaku di semua bank. Pada produk ini, pihak penabung bertindak sebagai shahibul maal (pemodal) dan pihak bank sebagai mudharib (amil). Pada praktiknya harus ada kesepakatan tenggang waktu antara penyetoran dan penarikan agar modal (dana) dapat diputarkan. Sehingga ada istilah deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan.
Juga dibicarakan nisbah (persentase) bagi hasilnya dan biasanya dana akan cair saat jatuh tempo.
Secara kenyataan, semua akad pada tabungan berjangka dan deposito tertuang pada formulir yang disediakan pihak bank di setiap Customer Service (CS)nya.

c. Deposito khusus (special investment)
Di mana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu. Keumuman bank syariah tidak menerapkan produk ini.

Tinjauan hukum syar’i
Secara hukum syar’i, akad yang tertuang dalam formulir yang disediakan pihak bank cukup transparan dan lahiriahnya tidak ada masalah.
Adapun perbedaan sistem deposito/tabungan antara bank syariah dan bank konvensional adalah:

a) Pada akad
Bank Syariah sangat terkait dengan akad-akad muamalah syari’ah. Bank konvensional tidak terikat dengan aturan manapun.

b) Pada imbalan yang diberikan:
Bank syariah menerapkan prinsip mudharabah, sehingga bagi hasil tergantung pada:
• Pendapatan bank (hasil/laba usaha)
• Nominal deposito nasabah
• Nisbah (persentase) bagi hasil antara nasabah dan bank
• Jangka waktu deposito
Bank konvensional menerapkan konsep biaya (cost concept) untuk menghitung keuntungan. Artinya bunga yang dijanjikan di muka kepada nasabah penabung merupakan ongkos yang harus dibayar oleh bank. Di sinilah letak riba pada bank konvensional.

c) Pada sasaran pembiayaan
Bank Syariah terikat dengan usaha-usaha yang halal. Bank konvensional terjun dalam semua usaha yang halal maupun haram.
Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu disoroti pada akad mudharabah antara penabung dan bank syariah, di antaranya adalah:

a. Bila terjadi kerugian pada usaha bank atau bank ditutup/bangkrut
Dan yang menanggung kerugian dana simpanan para nasabah adalah semua bank, baik konvensional maupun syariah1 harus terikat dan dinaungi oleh sebuah lembaga independen yang resmi yaitu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Setiap bank mengasuransikan seluruh dana simpanan nasabah kepada lembaga tersebut, pihak bank yang membayar preminya. Bila terjadi kerugian/pailit pada pihak bank, maka LPSlah yang mengganti semua dana simpanan dari nasabah penabung paling banyak Rp 2 miliar (sesuai Peraturan Pemerintah No. 66 Th. 2008, red.).

Hakikat akad dengan kondisi di atas,
Bila demikian kenyataan di lapangan yang tidak mungkin dipungkiri maka hakikat sesungguhnya adalah bukan akad mudharabah tetapi akad pinjaman (qiradh) yang karakteristik intinya adalah harus mengembalikan pinjaman, apapun yang terjadi.

Kesimpulannya, akad antara penabung dan bank syariah adalah riba/terlarang dengan alasan:

1) Pinjaman tersebut mengandung unsur bunga, dalam hal ini adalah bagi hasil yang dicapai.
Hakikatnya adalah penabung memberi pinjaman kepada pihak bank dengan syarat bunga dari persentase bagi hasil. Inilah hakikat dari riba jahiliah yang dikecam dalam Islam.

2) Kerugian ditanggung mudharib (bank)
Ini menyalahi prinsip mudharabah yang syar’i seperti telah diuraikan sebelumnya. Kerugian modal yang terjadi pada usaha mudharabah murni ditanggung modal bukan amil/mudharib.

3) Pihak bank terjatuh pada asuransi bisnis yang diharamkan dalam Islam.
( http://asysyariah.com/aplikasi-mudharabah-dalam-perbankan-syariah.html )

Mekanisme & Sistem Operasi Bank Syariah

Pembiayaan mudharabah merupakan bentuk kontrak antara dua pihak dimana satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelolah oleh kedua belah pihak yakni si pemilik usaha dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Manfaat pembiayaan mudharabah bagi nasabah adalah:
  • Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan Cash flow atau arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
  • Mekanisme pengembalian pembiayaan yang fleksibel (bulanan atau sekaligus diakhir periode).
  •  Bagi hasil berdasarkan perhitungan revenue sharing.
Adapun metode yang digunakan pembiayaan mudharabah pada Bank Syariah Mandiri adalah dengan menggunakan metode revenue sharing, dimana sistem bagi hasil yang didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.
Contoh kasus :
Tuan Salman seorang account manager mengajukan permohonan pembiayaan untuk koperasi Tahu Tempe. Dia membutuhkan modal dana sebesar Rp 500 juta. tuan salman telah memiliki modal awal sebesar Rp 150 juta dan membutuhkan dan dari bank sebesar Rp 350 juta, dan jangka waktu selama 1 tahun dengan eksistensi keuntungan bank 13% p.a. hitunglah pembagian kentungan yang diperoleh oleh bank maupun nasabah dengan realisasi penjualan selama 3 bulan?
> Target penjualan / bulan:                        Rp. 500 juta
> Harga pokok penjualan:                         83,4%
> Turn over perusahaan:                           3 bulan
> Kebutuhan Modal Kerja:                       Rp. 500 juta
> Modal sendiri:                                        Rp. 150 juta (30%)
> Pembiayaan Bank:                                 Rp. 350 juta (70%)
> Rencana Penerimaan/revenue:   Rp. 200 juta / bulan atau 6 milyar / tahun
      > Jangka waktu pembiayaan:                    1 tahun (12 bulan)
> Expectasi keuntungan bank:      13% p.a
Perhitungan nisbah bagi hasil :
> Expectasi keuntungan bank/tahun:        13% x Rp. 350 juta = Rp. 45.5 juta
> Nisbah keuntungan bank:         Expectasi keuntungan  x 100%
                                                          Target revenue
                                                       Rp. 45.5 juta  x 100%    = 0,76%
                                                          6 milyar
> Nisbah keuntungan nasabah:     100%  - Nisbah keuntungan bank
100% - 0,76%   =  99,24%
Adapun hasil yang didapat oleh bank maupun nasabah dapat dilihat pada perhitungan bagi hasil selama tiga bulan yang sudah ditetapkan pada tabel 4.2 berikut ini:

                    Perhitungan Bagi Hasil
Realisasi Penjualan
Bagi Hasil
Per bulan
Porsi Bank
Porsi Nasabah
Bulan I : Rp. 500 juta
              (100% target)
0,76% x Rp. 500 juta
= Rp. 1,5 juta
99,24% x Rp. 500 juta
= Rp. 498.5 juta
Bulan II: Rp. 560 juta
              (112% target)
0,76% x Rp. 560 juta
= Rp. 2,25 juta
99,24% x Rp. 560 juta
= Rp. 557.75 juta
Bulan III: Rp. 450 juta
              (90% target)
0,76% x Rp. 450 juta
= Rp. 1,2 juta
99,24% x Rp. 450 juta
= Rp. 448.8 juta
Sumber : Bank Syariah Mandiri cabang Kuningan
Dari hasil perhitungan bagi hasil diatas, pada bulan pertama dengan target 100% dari hasil penjualan, porsi yang didapat oleh bank sebesar Rp 1,5 juta sedangkan porsi nasabah sebesar Rp 498,5 juta. Bulan kedua dengan target 112% dari hasil penjualan, porsi yang didapat oleh bank sebesar Rp 2,25 juta sedangkan porsi nasabah sebesar Rp 557,75 juta. Bulan ketiga dengan target 90% dari hasil penjualan, porsi yang didapat oleh bank sebesar Rp 1,2 juta sedangkan porsi nasabah sebesar Rp 448,8.



Pada Bank Syariah, jika nasabah investor melakukan investasi pada bank syariah, maka investor tersebut tidak mendapatkan imbalan bunga karena bank syariah tdak beroprasi berdasarkan sistem bunga tetapi berdasarkan sistem bagi hasil. Jadi investor yang menginvestasikan dananya akan mendapatkan bagi hasil.  Berikut ini mekanisme dan sistem opeasi bank syariah :
1. Nasabah investor menyerahkan dananya kepada bank untuk dikelola.

2. Bank melakukan penjualan cicilan, kemudian bank melakukan :
a. Bank memberikan bagian keuntungan penjualan kepada nasabah
b. Bank mencatat pembayaran modal dan keuntungan bank

3. Bank melakukan sewa cicilan, kemudian bank melakukan :
a. Bank memberikan bagian keuntungan kerjasama usaha kepada nasabah
b. Bank mencatat pembayaran modal dan keunutngan bank

Dengan sistem ini, para nasabah investor dapat mengawasi kinerja bank syariah  secara langsung. Bila jumlah keuntungan yang dihasilkan bank dari pembiayaan semakin besar, maka bagi hasil unutk nasabah investor juga semakin besar. Dan sebaliknya jika bagi hasil yang diterima nasabah semakin kecil, maka hal itu disebabkan oleh menurunya kemampuan bank syariah dalam menghasilkan keuntungan. Dengan begitu dapat disimpulkan jika bagi hasil yang siterima nasabah investor terus mengecil tanpa adanya peningkatan maka dapat dikatakan bahwa bank syariah tersebut semakin tidak efisien.
Dan adapun data statistik pembiayaan mudharabah pada bank syari'ah
Tabel 1.1 Perkembangan Bank Syariah Indonesia
indikasi  2005         2006           2007         2008              2009               2010           2011        2012
KP/UUS       KP/UUS       KP/UUS    KP/UUS       KP/UUS    KP/UUS        KP/UUS      KP/UUS
BUS 3 3 3  5 6 11 11 11
UUS 19 20 25 27 25 23 23 24
BPRS 95105 114 131 139 150 153 155
 Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, Januari 2012.
Keterangan :
BUS = Bank Umum Syariah
UUS = Unit Usaha Syariah
BPRS = Bank Perkreditan Rakyat Syariah
KP/UUS = Kantor Pusat/Unit Usaha Syariah
Tabel 1.1 menunjukkan perkembangan perbankan syariah berdasarkan laporan tahunan BI 2011 (Januari 2012). secara kuantitas, pencapaian perbankan syariah sungguh membanggakan dan terus mengalami peningkatan dalam jumlah bank. Jika pada tahun 2005 hanya ada tiga Bank Umum Syariah dan 95 Bank Perkreditan Rakyat Syariah, maka pada Januari 2012 (berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia) jumlah bank syariah telah mencapai 35 unit yang terdiri atas 11 Bank Umum Syariah dan 24 Unit Usaha Syariah. Selain itu, jumlah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) telah mencapai 155 unit pada periode yang sama.
Tabel 1.2 Indikator Utama Perbankan Syariah (dalam milyar rupiah)
Indikasi 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Aset 7.945 15.210 20.880 28.722 36,537 49.555 66.090
DPK 5.725 11.718 15.584 20.672 28.011 36.852 52.271
Pembiayaan 5.561 11.324 15.270 20.445 27.944 38.198 46.886
FDR 97,14% 96,64% 97,76% 98,90% 99.76% 103.65% 89.70%
NPF 2,34% 2,38% 2,82% 4,75% 4,07% 3.95% 4.01%
Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, 2012.
Tabel 1.2 menunjukkan perkembangan terakhir indikasi-indikasi perbankan syariah. Perkembangan asset perbankan syariah meningkat sangat signifikan dari akhir tahun 2011 sampai dengan akhir tahun 2012 sebesar lebih dari 33.37 persen. Penghimpunan dana dan pembiayaan mencapai peningkatan sebesar 41.84 dan 22.74 persen.
Jika dilihat dari rasio pembiayaan yang disalurkan dengan besarnya dana pihak ketiga (DPK) yang dinyatakan dengan nilai Financing to Deposit Ratio (FDR), maka bank syariah memiliki rata-rata FDR sebesar 97.65 persen. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dan tahun sesudahnya, pada tahun 2010 Financing to Defosit Ratio perbankan syariah lebih dari 100 %. Tingginya tingkat FDR tersebut karena pembiayaan yang disalurkan selama bulan maret – November 2010 lebih besar dari Dana Pihak ketiga.
Yang perlu di catat disini adalah, meskipun pembiayaan yang disalurkan lebih besar dari DPK, tetapi tingkat kegalalan bayar atau yang dinyatakan dalam Non Performing Financing (NPF) ternyata lebih sedikit dari periode tahun 2006-2007, yakni hanya sebesar 3.95%, masih dibawah batas ketentuan minimal sebesar 5 persen. Artinya bank syariah betul betul menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan dengan tidak mengabaikan prinsip kehati-hatian. Selain itu juga, secara keseluruhan perbankan syariah relatif lebih sehat.Statistik Perbankan Syariah (SPS) merupkan media publikasi yang menyediakan informasi mengenai data perbankan syariah di indonesia. Sk ini diterbitkan setiap bulan oleh Direktorat Perbankan Syariah-Bank Indonesia dan disusun untuk memenuhi kebutuhan intern Bank Indonesia dan kebutuhan pihak ekstern mengenai kegiatan perbankan syariah beserta perkembangannya.


OBLIGASI SYARI’AH  (SUKUK)

Sukuk adalah istilah dalam bahasa Arab yang digunakan untuk obligasi yang berdasarkan prinsip syari’ah. Dalam fatwa nomor 32/DSN-MUI/IX/2002, mendefinisikan sukuk sebagai surat beharga jangka panjang berdasarkan prinsip syari;ah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syari’ah yang mewajibkan emiten membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syari’ah berupa bagi hasil margin atau fee,serta membayar kembali dana obligasi saat jatuh tempo.
Sukuk dapat pula diartikan dengan Efek Syari’ah berupa sertifikasi atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakali bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas
  1. Kepemilikan asset berwujud tertentu,
  2. Nilai manfaat dan jasa atas asset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu, atau 
  3. Kepemilikan atas asset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu.
Sukuk pada prinsipnya mirip seperti obligasi konvensioanal, dengan perbedaan pokok anatara lain berupa penggunaan konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) berupa sejumlah tertentu asset yang menjadi dasar penerbitan sukuk, dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip islam. Selain itu, sukuk juga harus distruktur secara islam agar instrument keuangan ini aman dan terbatas dari riba, gharar, dan maysir.
      Karena itu, definisi paling tepat untuk obligasi syari’ah adalah suatu kontrak pembiayaan tertulis yang : 
  •  Berjangka panjang
  • Untuk membayar kembali pada waktu tertentu
  • Seluruh kewajiban yang timbul
  • Akibat pembiayaan untuk kegiatan tertentu menurut syarat dan ketentuan tertentu
  •  Serta membayar sejumlah manfaat secara priodik menurut aqad.
Sukuk bukan merupakan utang berbunag tetap, tetapi lebih merupakan penyertaan dana (investasi) yang didasarkan pada prinsip bagi hasil jika menggunakan akad mudharabah dana musyarakah. Transaksinya bukan akad hutang piutang melainkan penyertaan.

TUJUAN/MANFAAT SUKUK
  • Memperluas sumber-sumber pembiayaan APBN
  • Diversifikasi investor dan instrument 
  • Memberikan alternatif instrumen investasi berbasis syari’ah bagi investor 
  • Mendukung pengembangan pasar keuangan syari’ah
  • Memberikan kesempatan kepada investor kecil untuk berinvestasi dalam instrumen pasar modal yang aman dan menguntungkan.
HAL YANG TERKAIT DENGAN AKTIFITAS SUKUK & BERLANGSUNGNYA KEGIATAN SUKUK

Prinsip Obligasi Syari’ah : 
  1.  Pembiayaan hanya untuk suatu transaksi atau kegiatan usaha yang spesifik, dimana harus dapat diadakan pembukaan yang terpisah untuk menentukan manfaat yang timbul. 
  2. Hasil investasi yang diterima pemilik dana merupakan fungsi dari manfaat yang diterima perusahaan dari dana hasil penjualan obligasi, bukan dari kegiatan usaha yang lain.
  3. Tidak boleh memberikan jamina hasil usaha yang semata-mata merupakan fungsi waktu dariu uang (time value of money)
  4. Obligasi tidak dapat dipakai untuk menggantikan hutang yang sudah ada (bay al dayn bi al dayn) 
  5.  Bila pemilik dana tidak harus menanggung rugi, maka pemilik usaha harus mengikat diri (aqad jaiz).  
  6.  Pemilik dana dapat menerima pembagian dari pendapatan (revenue sharing), dimana pemilik usaha (emiten) mengikat diri untuk membatasi penggunaan pendapat sebagai biaya usaha.
  7. Obligasi dapat dijual kembali, baik kepada pemilik dana lainnya ataupun kepada emiten (bila sesuai dengan ketentuan)
  8. Obligasi dapat dijual dibawah nilai pari (modal awal) kalau perusahaan mengalami kerugian. 
  9. Perubahan nialai pasar bukan berarti perubahan jumalah hutang.
KETENTUAN UMUM SUKUK

·         Obligasi yang tidak dibenarkan menurut syari’ah yaitu obligasi yang bersifat hutang dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga,
·         Obligasi yang dibenarkan menurut syari’ah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah,
·         Obligasi syari’ah adalah suatu berharga jangka panjanf berdasarkan prinsip syari’ah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syari’ah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syari’ah berupa bagi hasil/ marjin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.

KETENTUAN KHUSUS SUKUK

·         Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syari’ah antara lain :
a)      Mudharabah
b)      Musyarakah
c)      Murabahah
d)     Salam
e)      Istishna
f)       Ijarah
·         Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan mudharib kepada pemegang obligasi syari’ah mudharabah (shahibul maal) harus bersih dari undur non halal
·         Pendapatan yang diperoleh pemegang obligasi syari’ah sesuai akad yang digunakan
·         Pemindahan kepemilikan obligasi syari’ah mengikuti akad-akad yang digunakan.

JENIS-JENIS SUKUK
  • Sukuk Ijarah adalah yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad ijaroh di mana satu pihak bertindak sendiri atau melalui wakilnya menjual atau menyewakan hak manfaat atas suatu asset terhadap pihak lain berdasarkan harga dan periode yang disepakati, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan asset itu sendiri.
          Secara tekhnis, obligasi ijarah dapat dilakukan dengan dua cara,yaitu :
Ø  Investor dapat bertindak sebagai penyewa, sedangkan mudharib dapat bertindak sebagai wakil investor.
Ø  Setelah investor memperoleh hak sewa, maka investor menyewakan kembali objek sewa tersebut kepada mudharib.
  • Sukuk Mudharabah adalah sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad mudharabah di mana satu pihak menyediakan modal, keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan perbandingan yang telah disetujui sebelumnya. Kerugian yang timbul akan di tanggung sepenuhnya oleh pihak yang menjadi penyedia modal.
  • Sukuk Murabahah adalah yang diterbitkan dengan prinsip jual beli, penerbit sertifikat sukuk adalah penjual komoditi, sedangkan investornya adalah pembeli komoditi tersebut. Penerbitan sukuk murabahah hanya dapat dilakukan pada primary market dan tidak dapat diperjualbelikan pada secondary market, Karen sertifikat murabahah menunjukkan kepemilikan pembiayaan.
  • Sukuk Istishna’ adalah obligasi syari’ah yang diterbitkan berdasarkna perjanjian atau akad istishna’ di mana para pihak menyepakati jula beli dalam rangka pembiayaan suatu proyek/barang. Sukuk Istishna’ sangat bermanfaat untuk pembiayaan proyek infrastruktur dengan nilai yang sangat besar, namun sukuk ini tidak boleh diperjual belikan di secondary market. Ketentuan Umum Obligasi Syari’ah :

·         Pelaksanaan obligasi syari’ah mulai dari awal sampai akhir harus terhindar dari format dan substansi akad yang berkaitan denga riba dan gharar.
·         Transaksi obligasi syari’ah harus berdasarkan konsep muammalah yang sejalan syari’ah seperti akad kemitraan, jual beli barang .
·         Bagi hasil pada akad kemitraan, fee pada akad ijarah, dan harga pada akad jual beli harus ditentukan secara jelas pada awal transaksi.
·         Usaha yang dilakukan emiten (originator) berhubungan dengan dana sukuk yang dikelola harus terhindar dari unsure-unsur non halal. 
  •  Sukuk Musyarakah adalah obligasi syari’ah yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad musyarakah di mana dua pihak atau lebih bekerja sama menggabungkan modal untuk membangun proyek baru yang telah ada, atau membiayai kegiatan usaha. Keuntungan maupun kerugian yang timbul ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing-masing pihak.

JADI PERBEDAAN OBLIGASI DENGAN SUKUK ADALAH : 
  • Penerbit :
         -      Sukuk      = pemerintah, korporasi.
         -      Obligasi   = pemerintah, korporasi
  •  Sifat Instrumen:
            -    Sukuk      = Sertifakasi kepemilikan/penyertaan atas suatu asset.
            -    Obligasi   = Instrumen pengakuan utang.
  • Penghasilan :
-          Sukuk        = Imbalan, bagi hasil, margin
-          Obligasi     = Bunga/kupon, capital gain.
  • Jangka Waktu :
-          Sukuk        = Pendek menengah.
-          Obligasi     = Menengah Panjang.
  • Underlying asset :
-          Sukuk        = Perlu.
-          Obligasi     = Tidak perlu.
  • Pihak terkait :
-          Sukuk        = Obligor, SPV, invesror, trustee
-          Obligasi     = Obligor/issue, investor. 
  •    Price :
-          Sukuk        = Market price
-          Obligasi     = Market price
  • Investor :
-          Sukuk        = Islam, Konvensional
-          Obligasi     = Konvensional
  •   Pembayaran Pokok :
-          Sukuk        = Bullet atau amortisasi
-          Obligasi     = Bullet atau amortisasi
  • Penggunaan hasil penerbitan :
-          Sukuk        = harus sesuai islam
-          Obligasi     = bebas

Kendala dan strategi pengembangan obligasi syari’ah

  • Belum banyak masyarakat yang paham tentang keberadaan obligasi syari’ah, apalagi sistem yang digunakannya.
  • Masyarakat dalam penimpan dananya cenderung didasarkan atas pertimbangan pragmatis.
  • Di usia yang masih relatif muda dan sistem yang berada, obligasi syari’ah dikondisikan untuk menghadapi masyarakat yang kurang percaya akan keberadaan sistem yang belum ia kenal.
Usaha yang dilakukan untuk menjawab kendala-kendala obligasi syari’ah adalah sebagai berikut:
  •   Langkah-langkah sosialisasi dilakukan untuk membangun pemahaman masyarakat akan keberadaan obligasi syari’ah di tengah-tengah masyarakat.
  • Usaha untuk menarik pasar emosional secara statistik relatif lebih sedikit dari pada pasar rasional.
  • Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat, usaha untuk meningkatkan profesionalitas, kualitas, kapabilitas, dan efesiensi untuk selalu dilakukan oleh obligasi syari’ah.