PEMBIAYAAN MUDHARABAH
Sistem bagi hasil (profit and loss sharing) merupakan karakteristik utama. Perbankan Syariah secara umum. Dalam akad yang ditanda tangani nasabah dan bank akan ditentukan nisbah bagi hasil yang akan di peroleh masing masing pihak dari pendapatan/keuntungan usaha yang di jalankan. Nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk persentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal rupiah tertentu, karena tidak akan pernah tahu keuntungan pasti dari hasil usaha yang dilakukan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya bagi hasil di perbankan syariah adalah :
a. referensi tingkat (margin) keuntungan
b. perkiraan tingkat keuntungan bisnis/proyek yang di biayai.
Implementasi pembiayaan mudharabah pada perbankan syari'ah :
Mudharabah di dunia bank syariah merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank Islam secara keseluruhan. Aplikasi mudharabah pada bank syariah cukup kompleks, namun secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua:
1. Akad mudharabah antara nasabah penabung dengan bank
2. Akad mudharabah antara bank dengan nasabah peminjam
Berikut ini uraian sekaligus tinjauan syar’i terhadap aplikasi tersebut:
1. Akad mudharabah antara nasabah penabung dengan bank.
Aplikasinya dalam perbankan syariah adalah:
a. tabungan berjangka yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus seperti tabungan qurban, tabungan pendidikan anak, dan sebagainya.
Sistem atau teknisnya adalah nasabah penabung memiliki ketentuan-ketentuan umum yang ada pada bank seperti syarat-syarat pembukaan, penutupan rekening, mengisi formulir, menyertakan fotokopi KTP, specimen tanda tangan, dan lain sebagainya.
Lalu menyebutkan tujuan dia menabung, misal untuk pendidikan anaknya, lalu disepakati nominal yang disetor setiap bulannya dan tempo pencairan dana.
Pada praktiknya, dana akan cair pada saat jatuh tempo plus bagi hasil dari usaha mudharabah. Secara kenyataan di lapangan, pihak bank bisa langsung memberikan hasil mudharabah secara kredit tiap akhir bulan.
b. Deposito biasa
Ketentuan teknisnya sama seperti ketentuan umum yang berlaku di semua bank. Pada produk ini, pihak penabung bertindak sebagai shahibul maal (pemodal) dan pihak bank sebagai mudharib (amil). Pada praktiknya harus ada kesepakatan tenggang waktu antara penyetoran dan penarikan agar modal (dana) dapat diputarkan. Sehingga ada istilah deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan.
Juga dibicarakan nisbah (persentase) bagi hasilnya dan biasanya dana akan cair saat jatuh tempo.
Secara kenyataan, semua akad pada tabungan berjangka dan deposito tertuang pada formulir yang disediakan pihak bank di setiap Customer Service (CS)nya.
c. Deposito khusus (special investment)
Di mana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu. Keumuman bank syariah tidak menerapkan produk ini.
Tinjauan hukum syar’i
Secara hukum syar’i, akad yang tertuang dalam formulir yang disediakan pihak bank cukup transparan dan lahiriahnya tidak ada masalah.
Adapun perbedaan sistem deposito/tabungan antara bank syariah dan bank konvensional adalah:
a) Pada akad
Bank Syariah sangat terkait dengan akad-akad muamalah syari’ah. Bank konvensional tidak terikat dengan aturan manapun.
b) Pada imbalan yang diberikan:
Bank syariah menerapkan prinsip mudharabah, sehingga bagi hasil tergantung pada:
• Pendapatan bank (hasil/laba usaha)
• Nominal deposito nasabah
• Nisbah (persentase) bagi hasil antara nasabah dan bank
• Jangka waktu deposito
Bank konvensional menerapkan konsep biaya (cost concept) untuk menghitung keuntungan. Artinya bunga yang dijanjikan di muka kepada nasabah penabung merupakan ongkos yang harus dibayar oleh bank. Di sinilah letak riba pada bank konvensional.
c) Pada sasaran pembiayaan
Bank Syariah terikat dengan usaha-usaha yang halal. Bank konvensional terjun dalam semua usaha yang halal maupun haram.
Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu disoroti pada akad mudharabah antara penabung dan bank syariah, di antaranya adalah:
a. Bila terjadi kerugian pada usaha bank atau bank ditutup/bangkrut
Dan yang menanggung kerugian dana simpanan para nasabah adalah semua bank, baik konvensional maupun syariah1 harus terikat dan dinaungi oleh sebuah lembaga independen yang resmi yaitu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Setiap bank mengasuransikan seluruh dana simpanan nasabah kepada lembaga tersebut, pihak bank yang membayar preminya. Bila terjadi kerugian/pailit pada pihak bank, maka LPSlah yang mengganti semua dana simpanan dari nasabah penabung paling banyak Rp 2 miliar (sesuai Peraturan Pemerintah No. 66 Th. 2008, red.).
Hakikat akad dengan kondisi di atas,
Bila demikian kenyataan di lapangan yang tidak mungkin dipungkiri maka hakikat sesungguhnya adalah bukan akad mudharabah tetapi akad pinjaman (qiradh) yang karakteristik intinya adalah harus mengembalikan pinjaman, apapun yang terjadi.
Kesimpulannya, akad antara penabung dan bank syariah adalah riba/terlarang dengan alasan:
1) Pinjaman tersebut mengandung unsur bunga, dalam hal ini adalah bagi hasil yang dicapai.
Hakikatnya adalah penabung memberi pinjaman kepada pihak bank dengan syarat bunga dari persentase bagi hasil. Inilah hakikat dari riba jahiliah yang dikecam dalam Islam.
2) Kerugian ditanggung mudharib (bank)
Ini menyalahi prinsip mudharabah yang syar’i seperti telah diuraikan sebelumnya. Kerugian modal yang terjadi pada usaha mudharabah murni ditanggung modal bukan amil/mudharib.
3) Pihak bank terjatuh pada asuransi bisnis yang diharamkan dalam Islam.
( http://asysyariah.com/aplikasi-mudharabah-dalam-perbankan-syariah.html )
Mekanisme & Sistem Operasi Bank Syariah
Pembiayaan mudharabah merupakan bentuk kontrak antara dua pihak dimana
satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya
untuk dikelolah oleh kedua belah pihak yakni si pemilik usaha dengan tujuan
untuk mendapatkan keuntungan. Manfaat pembiayaan mudharabah bagi nasabah adalah:
- Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan Cash flow atau arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
- Mekanisme pengembalian pembiayaan yang fleksibel (bulanan atau sekaligus diakhir periode).
- Bagi hasil berdasarkan perhitungan revenue sharing.
Adapun metode yang digunakan pembiayaan mudharabah pada Bank Syariah
Mandiri adalah dengan menggunakan metode revenue sharing, dimana sistem bagi
hasil yang didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum
dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan
tersebut.
Contoh kasus :
Tuan Salman seorang account manager mengajukan permohonan pembiayaan
untuk koperasi Tahu Tempe. Dia membutuhkan modal dana sebesar Rp 500 juta. tuan
salman telah memiliki modal awal sebesar Rp 150 juta dan membutuhkan dan dari
bank sebesar Rp 350 juta, dan jangka waktu selama 1 tahun dengan eksistensi
keuntungan bank 13% p.a. hitunglah pembagian kentungan yang diperoleh oleh bank
maupun nasabah dengan realisasi penjualan selama 3 bulan?
> Target penjualan / bulan: Rp. 500 juta
> Harga pokok penjualan: 83,4%
> Turn over perusahaan: 3 bulan
> Kebutuhan Modal Kerja: Rp. 500 juta
> Modal sendiri: Rp.
150 juta (30%)
> Pembiayaan Bank: Rp.
350 juta (70%)
> Rencana Penerimaan/revenue: Rp. 200 juta /
bulan atau 6 milyar / tahun
> Jangka waktu pembiayaan: 1 tahun (12 bulan)
> Expectasi keuntungan bank: 13% p.a
Perhitungan nisbah bagi hasil :
> Expectasi keuntungan bank/tahun: 13% x Rp. 350 juta = Rp. 45.5 juta
> Nisbah keuntungan bank: Expectasi
keuntungan x 100%
Target revenue
Rp. 45.5 juta x 100%
= 0,76%
6 milyar
> Nisbah keuntungan nasabah: 100% - Nisbah keuntungan bank
100%
- 0,76% = 99,24%
Adapun hasil yang didapat oleh bank
maupun nasabah dapat dilihat pada perhitungan bagi hasil selama tiga bulan yang
sudah ditetapkan pada tabel 4.2 berikut ini:
Perhitungan
Bagi Hasil
Realisasi
Penjualan
|
Bagi Hasil
|
|
Per bulan
|
Porsi Bank
|
Porsi
Nasabah
|
Bulan I : Rp. 500 juta
(100% target)
|
0,76% x Rp. 500 juta
= Rp. 1,5 juta
|
99,24% x Rp. 500 juta
= Rp. 498.5 juta
|
Bulan II: Rp. 560 juta
(112% target)
|
0,76% x Rp. 560 juta
= Rp. 2,25 juta
|
99,24% x Rp. 560 juta
= Rp. 557.75 juta
|
Bulan III: Rp. 450 juta
(90% target)
|
0,76% x Rp. 450 juta
= Rp. 1,2 juta
|
99,24% x Rp. 450 juta
= Rp. 448.8 juta
|
Sumber : Bank Syariah Mandiri
cabang Kuningan
Dari hasil perhitungan bagi hasil
diatas, pada bulan pertama dengan target 100% dari hasil penjualan, porsi yang
didapat oleh bank sebesar Rp 1,5 juta sedangkan porsi nasabah sebesar Rp 498,5
juta. Bulan kedua dengan target 112% dari hasil penjualan, porsi yang didapat
oleh bank sebesar Rp 2,25 juta sedangkan porsi nasabah sebesar Rp 557,75 juta.
Bulan ketiga dengan target 90% dari hasil penjualan, porsi yang didapat oleh
bank sebesar Rp 1,2 juta sedangkan porsi nasabah sebesar Rp 448,8.
2. Bank melakukan penjualan cicilan, kemudian bank melakukan :
a. Bank memberikan bagian keuntungan penjualan kepada nasabah
b. Bank mencatat pembayaran modal dan keuntungan bank
3. Bank melakukan sewa cicilan, kemudian bank melakukan :
a. Bank memberikan bagian keuntungan kerjasama usaha kepada nasabah
b. Bank mencatat pembayaran modal dan keunutngan bank
Dengan sistem ini, para nasabah investor dapat mengawasi kinerja bank syariah secara langsung. Bila jumlah keuntungan yang dihasilkan bank dari pembiayaan semakin besar, maka bagi hasil unutk nasabah investor juga semakin besar. Dan sebaliknya jika bagi hasil yang diterima nasabah semakin kecil, maka hal itu disebabkan oleh menurunya kemampuan bank syariah dalam menghasilkan keuntungan. Dengan begitu dapat disimpulkan jika bagi hasil yang siterima nasabah investor terus mengecil tanpa adanya peningkatan maka dapat dikatakan bahwa bank syariah tersebut semakin tidak efisien.
Dan adapun data statistik pembiayaan mudharabah pada bank syari'ah
Tabel 1.1 Perkembangan Bank Syariah Indonesia
indikasi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
KP/UUS KP/UUS KP/UUS KP/UUS KP/UUS KP/UUS KP/UUS KP/UUS
BUS 3 3 3 5 6 11 11 11
UUS 19 20 25 27 25 23 23 24
BPRS 95105 114 131 139 150 153 155
Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, Januari 2012.
Keterangan :
BUS = Bank Umum Syariah
UUS = Unit Usaha Syariah
BPRS = Bank Perkreditan Rakyat Syariah
KP/UUS = Kantor Pusat/Unit Usaha Syariah
Tabel 1.1 menunjukkan perkembangan
perbankan syariah berdasarkan laporan tahunan BI 2011 (Januari 2012).
secara kuantitas, pencapaian perbankan syariah sungguh membanggakan dan
terus mengalami peningkatan dalam jumlah bank. Jika pada tahun 2005
hanya ada tiga Bank Umum Syariah dan 95 Bank Perkreditan Rakyat Syariah,
maka pada Januari 2012 (berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah
yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia) jumlah bank syariah telah
mencapai 35 unit yang terdiri atas 11 Bank Umum Syariah dan 24 Unit
Usaha Syariah. Selain itu, jumlah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)
telah mencapai 155 unit pada periode yang sama.
Tabel 1.2 Indikator Utama Perbankan Syariah (dalam milyar rupiah)
Indikasi 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Aset 7.945 15.210 20.880 28.722 36,537 49.555 66.090
DPK 5.725 11.718 15.584 20.672 28.011 36.852 52.271
Pembiayaan 5.561 11.324 15.270 20.445 27.944 38.198 46.886
FDR 97,14% 96,64% 97,76% 98,90% 99.76% 103.65% 89.70%
NPF 2,34% 2,38% 2,82% 4,75% 4,07% 3.95% 4.01%
Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, 2012.
Tabel 1.2 menunjukkan perkembangan terakhir indikasi-indikasi
perbankan syariah. Perkembangan asset perbankan syariah meningkat sangat
signifikan dari akhir tahun 2011 sampai dengan akhir tahun 2012 sebesar
lebih dari 33.37 persen. Penghimpunan dana dan pembiayaan mencapai
peningkatan sebesar 41.84 dan 22.74 persen.
Jika dilihat dari rasio pembiayaan yang disalurkan dengan besarnya
dana pihak ketiga (DPK) yang dinyatakan dengan nilai Financing to
Deposit Ratio (FDR), maka bank syariah memiliki rata-rata FDR sebesar
97.65 persen. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dan tahun
sesudahnya, pada tahun 2010 Financing to Defosit Ratio perbankan syariah
lebih dari 100 %. Tingginya tingkat FDR tersebut karena pembiayaan yang
disalurkan selama bulan maret – November 2010 lebih besar dari Dana
Pihak ketiga.
Yang perlu di catat disini adalah, meskipun pembiayaan yang
disalurkan lebih besar dari DPK, tetapi tingkat kegalalan bayar atau
yang dinyatakan dalam Non Performing Financing (NPF) ternyata lebih
sedikit dari periode tahun 2006-2007, yakni hanya sebesar 3.95%, masih
dibawah batas ketentuan minimal sebesar 5 persen. Artinya bank syariah
betul betul menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan
dengan tidak mengabaikan prinsip kehati-hatian. Selain itu juga, secara
keseluruhan perbankan syariah relatif lebih sehat.Statistik Perbankan
Syariah (SPS) merupkan media publikasi yang menyediakan informasi
mengenai data perbankan syariah di indonesia. Sk ini diterbitkan setiap
bulan oleh Direktorat Perbankan Syariah-Bank Indonesia dan disusun untuk
memenuhi kebutuhan intern Bank Indonesia dan kebutuhan pihak ekstern
mengenai kegiatan perbankan syariah beserta perkembangannya.